Bahasa Oirata dan Meher di Pulau Kisar Menuju Status Terancam Punah
AMBON, LELEMUKU.COM – Peneliti Kantor Bahasa Provinsi Maluku, Erniati, S.S mengatakan Pulau Kisar merupakan salah satu pulau terluar di Maluku. Sering disebut sebagai Maluku tenggara jauh karena akses untuk menjangkau pulau ini sangat sulit. Sarana transportasi belum memadai, baik melalui transportasi udara maupun melalui transportasi laut.
Cuaca di Pulau Kisar sangat ekstrim, musim kemarau berlangsung lama dan musim hujan hanya berlangsung sebentar sehingga pulau ini terlihat kering dan gersang. Namun penduduk sudah memahami keadaan tersebut sehingga dapat menyesuaikan pola pertanian apa yang bisa dikembangkan karena kondisi alam.
Pulau Kisar berbatasan dengan negara Timur Leste dan Australia, dihuni oleh dua masyarakat lokal atau dua etnis yaitu etnis Meher dan etnis Oirata. Kedua etnis ini sangat berbeda dari segi budaya, termasuk bahasanya.
Fakta linguistik menyebutkan bahwa kedua bahasa yang dituturkan kedua etnis tersebut berbeda, Summer Institut of Lingusitics (SIL) (2005:15) menyebutkan bahwa bahasa Oirata merupakan bahasa dengan rumpun non-Austronesia sedangkan bahasa Meher yang juga disebut bahasa Kisar dikategorikan sebagai bahasa rumpun kelas Austronesia, Melayu Polenesia, Timur Tengah.
Tim Pemetaan Badan Bahasa mengidentifikasi bahasa Oirata dan bahasa Meher merupakan dua bahasa yang berbeda dengan persentasi perbedaan dialektometri sekitar 74%.
“Bahasa Oirata hanya digunakan oleh dua desa, di desa Oirata Timur dan Oirata Barat selebihnya menggunakan bahasa Meher, bahkan penggunaan bahasa Meher tersebar di beberapa pulau yang ada di sekitar Pulau Kisar. Misalnya Pulau Letti dan Pulau Luang,” kata dia saat dikutip Lelemuku.com pada Kamis, 18 Februari 2021.
Oleh karena penuturnya masih banyak, beberapa pengakuan penduduk beranggapan bahwa bahasa Meher masih dikategorikan sebagai bahasa yang masih aman dibandingkan dengan bahasa Oirata.
Jika berbicara tentang status aman atau tidaknya sebuah bahasa dari segi penggunaannya tentu harus melalui kajian ilmiah atau kajian kebahasaan (linguistik). Beberapa tahun terakhir, karena berangkat dari rasa keprihatinan akan status bahasa daerah di Indonesia maka para linguis melakukan kajian vitalitas bahasa daerah.
Kajian vitalitas daerah adalah sebuah kajian yang bertujuan mengukur daya hidup/status bahasa daerah mulai status aman sampai status punah. Pada penelitian yang dilakukan oleh Aritonang (2013) mengemukakan bahwa kajian vitalitas bahasa dan tingkat kepunahannya sangat berkaitan dengan kajian pergeseran bahasa, pilihan bahasa, dan kedwibahasaan.
Kepunahan bahasa akan terjadi jika sekelompok pemakai bahasa bergeser ke bahasa baru secara total sehingga bahasa terdahulu tidak terpakai lagi. Kepunahan bahasa berbeda-beda antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lainnya. Kemampuan menghadapi tekanan dari luar dan dari dalam bahasa tersebut menentukan tingkat keterancaman dan kepunahan bahasa.
Berangkat dari pendapat di atas, maka kajian vitalitas bahasa daerah dianggap sangat urgen dilakukan untuk semua bahasa daerah di Indonesia, termasuk bahasa Oirata dan bahasa Meher. Vitalitas bahasa Oirata sudah dilakukan oleh Tim Pelindungan Bahasa, Kantor Bahasa Maluku (2018).
Hasil kajian vitalitas bahasa Oirata menunjukkan status bahasa Oirata sudah mengalami kemunduran. Artinya, bahwa bahasa Oirata tidak lagi digunakan sebagai bahasa pengantar untuk berkomunikasi sehari-hari terutama bagi kalangan generasi muda.
Meskipun bahasa Meher belum dilakukan kajian vitalitas secara ilmiah, namun beberapa kajian juga pernah dilakukan oleh beberapa peneliti yang berkaitan dengan penggunaan bahasa Meher. Penelitian ini terkait dengan sikap dan dokumentasi bahasa.
“Melihat kondisi tersebut, maka tak pelak lagi bahwa bahasa Oirata dan bahasa Meher sudah mengalami ketergerusan dan tidak bisa dipungkiri lagi dengan berjalannya waktu, bahasa ini akan menuju ke status terancam punah,” kata Erniati.
Salah satu faktor tergerusnya penggunaan bahasa Oirata dan bahasa Meher adalah begitu kuatnya pengaruh bahasa Melayu Ambon di lingkungan penutur. Bahasa Melayu Ambon menjadi bahasa yang dianggap prestise bagi penutur sehingga menggunakan bahasa daerah bukan lagi sebuah keharusan yang harus dipelajari dan digunakan sebagai media komunikasi bagi generasi penerus.
Selain itu, tidak adanya lagi pewarisan yang sistematis oleh orang tua kepada generasi mudanya menjadi pemantik bergesernya penggunaan bahasa daerah. Penutur bahasa Oirata dan bahasa Meher yang masih aktif dan pasih hanya penutur yang berusia 40 tahun ke atas. Bahasa Oirata dan bahasa Meher juga tidak dijadikan sebagai bahan muatan lokal di sekolah-sekolah di Pulau Kisar sehingga memungkinkan laju status menuju kepunahan bahasa akan bergerak cepat.
“Untuk mengatasi atau menghambat laju kepunahan bahasa Oirata dan bahasa Meher, keterlibatan semua pihak sebagai pendukung budaya sangat diperlukan. Penutur, pemerintah daerah, peneliti, serta pemerhati budaya harus bersinergi dan membangun visi dan misi yang sama dalam melestarikan bahasa daerah,” tutup Erniati. (Laura Sobuber)