Ine Adii dan Louis Adii Eksis Bekerja di Luar Negeri

(Yuliius Lopo, Ine Adii, Mimah, Selly dan Jason). Ine Adii, Mimah dan Jason merupakan satu angkatan sekolah. 
BEKERJA di hotel bertaraf internasional bukan impian masa kecilnya. Tapi itulah fakta hidup dari Emboine Adii yang memulai kariernya di Ritz-Carlton Hotel, Half Moon Bay Amerika Serikat tahun 2005, setelah lulus kuliah Perhotelan di Negeri Paman Sam tersebut.

Emboine yang akrab dipanggil Ine sewaktu kecil memiliki impian untuk menjadi seorang suster atau dokter.  “Karena bekerja sebagai suster atau dokter itu bisa menolong orang lain. Namun sewaktu lulus SMA di Amerika, saya tertarik masuk ke dunia perhotelan dan traveling karena prospeknya lebih maju dan bisa bekerja di mana saja,” kata Ine saat bertandang ke Redaksi SKH Salam Papua, Jumat (26/8) malam.

Kunjungannya ke SKH Salam Papua sudah menjadi salah satu agenda dari Ine, karena ia selalu meluangkan waktunya membaca web www.salampapua.com untuk mengobati rasa rindunya akan Papua sekaligus untuk mendapatkan informasi tentang perkembangan Timika, Tembagapura, Papua dan Indonesia.

Anak ketiga dari tiga bersaudara buah hati pasangan (alm) Yulius Adii dan (almh) Sukarti Adii. menuturkan, masa pendidikan mulai SD hingga SMP dilaluinya di Tembagapura karena bapaknya bekerja di PT Freeport Indonesia (PTFI). Kunjungannya ke Indonesia yang diperoleh dua tahun sekali dari perusahaan hotel tempat ia bekerja, juga digunakan untuk bertemu teman-teman semasa kecilnya sekaligus teman sekolah sewaktu SD dan SMP di Tembagapura. Salah satu teman sekolah Ine di YPJ Tembagapura yang hingga kini masih menjalin hubungan persahabatan adalah Jason Gilbert Manurung yang kini menjabat Direktur SKH Salam Papua.

“Setelah lulus SMP saya langsung berangkat ke Amerika melanjutkan SMA di sana. Tamat SMA saya mendapatkan beasiswa untuk kuliah jurusan perhotelan selama empat tahun. Lulus kuliah saya langsung diterima di Ritz-Carlton Hotel karena dinilai memiliki pengetahuan dan keahlian dibidang perhotelan,” kata Ine, 

Setelah satu tahun bekerja di Ritz Carlton Hotel di Amerika, Ine dipindahkan ke Ritz Carlton Dubai. Sudah 10 tahun Ine bekerja di hotel tersebut. Selain itu, Ine juga kini bekerja di The Address Hotel and Resort Dubai, milik dari pengusaha kaya yang juga pemilik dari menara tertinggi di dunia, Burj Khalifa di Dubai.

“Orang Indonesia yang bekerja di hotel tempat saya bekerja sekarang 80-an orang, tapi yang dari Papua hanya saya. Di hotel ini kita juga tertantang untuk bisa beradaptasi karena pekerjanya berasal dari 43 negara,” kata Ine.

Tidak hanya Ine yang sekolah dan bekerja di luar negeri, kakak nomor 1 Ine, Charles Louis Isack Adii yang akrab dipanggil Louis juga menekuni pekerjaan sebagai Carpenter at Sister Builders di Stowe Vermont. Louis dan Ine sama-sama berangkat ke Amerika tahun 1995. Saat itu, Louis sudah lulus salah satu SMA di Manado, namun di Vermont, Louis harus kembali masuk High School di Middlebury untuk penyesuaian selama satu setengah tahun. Setelah itu melanjutkan ke Beloit College Wisconsin selama dua tahun dan  Johnson State College Jurusan Anthropology di Johnson Vermont selama dua tahun.

“Setelah lulus saya kemudian menikah dengan buah hati Carrie Lynn Adii dan dari pernikahan tersebut dikarunia dua anak yakni Irian Cecilia Ekari Adii dan Koiya May Tresia Adii,” kata Louis saat diwawancara di Waanal Coffee and Resto, Jumat (26/8) malam. Saat diwawancarai, Louis dan Ine sedang dalam acara temu kangen bersama teman-teman semasa kecil saat sekolah di YPJ Tembagapura, yang saat ini berdomisili di Tembagapura, Kuala Kencana dan Timika. Kumpulan teman-teman ini lebih dikenal dengan nama komunitas AGUTE (Anak Gunung Tembagapura).

Louis Adii saat Berada di Waanal Cafe
Bagi Louis dan Ine, pilihan untuk bekerja di luar negeri sebenarnya ingin menunjukkan bahwa orang Papua pada hakekatnya sama dengan warga Indonesia lainnya, bisa diterima dan bisa melakukan pekerjaan secara professional di bidang apa saja. “Kalau ada kemauan dan kerja keras, pasti bisa. Kami menjadi bukti anak-anak Papua yang eksis bekerja di luar negeri. Jadi orang asli Papua tidak perlu takut untuk sekolah dan bekerja di luar negeri,” ujar Louis.

Baik Ine maupun Louis memiliki kerinduan suatu saat bisa kembali ke Papua, untuk berbagi ilmu dan pengalaman, ikut membangun daerah ini. “Ada kerinduan untuk kembali membangun daerah ini, terlebih di bidang sumber daya manusianya,” ujar Ine.

Keduanya mengaku kerja di Amerika dan Dubai lebih banyak sukanya dibanding dukanya. “Dukanya barangkali ketika ingin makan makanan khas Indonesia atau Papua tidak bisa terpenuhi. Namun kalau di Dubai, saat perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus, kami diberi tempat untuk memperingatinya, saat itu kami juga diberi dana untuk memasak makanan khas Indonesia,” kata Ine.

Tentang kota kenangan Tembapura, Louis mengaku sudah tidak seperti dulu. “Tembagapura itu seperti Indonesia mini, hampir semua suku ada di sana. Letaknya yang ekslusif membuat kami saat itu sangat akrab, rukun dan hidup bersaudara. Sekarang nuansa itu sudah terkikis. Sementara Timika sudah banyak mengalamai kemajuan, tapi bersamaan dengan itu terdapat banyak masalah sosial,” kata Louis. (yol/irsul)

Related Posts

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel