Konflik Kwamki Narama Meluas Hingga ke Kabupaten Puncak

Perang adat yang terjadi di Kwamki Narama beberapa waktu lalu - DOC SAPA
SAPA (TIMIKA) – Bupati Puncak Willem Wandik, mengakui bahwa, konflik perang adat yang terjadi di Kwamki Narama dan Iliale, Kabupaten Mimika meluas hingga ke Kabupaten Puncak. Pasalnya, masyarakat yang berkonflik di Kabupaten Mimika dan di Kabupaten Puncak, masih berhubungan erat, baik secara keluarga maupun secara adat istiadat.

“Masyarakat yang ada di Puncak juga ada di Timika, dan masyarakat di Timika juga ada di Puncak. Sekarang imbas dari masalah ini sehingga mayat yang kemarin terjadi konflik itu kebetulan masyarakat saya disana. Sehingga secara adat kalau hari ini dibunuh sorenya harus dibakar. Tapi karena mayatnya itu lama dan belum dibakar, karena juga pihak bawah tidak mau menerima (bertanggungjawab-red) untuk dibakar, lalu masyarakat disana (Kabupaten Puncak-red) merontak, kenapa korban tidak mau bakar,” jelas Willem Wandik, Rabu (27/7), di Hotel Cenderawasih 66, Timika.

Dengan adanya imbas dari konflik perang adat di Kwamki Narama hingga ke Kabupaten Puncak, maka sebagai kepala daerah, Willem Wandik merasa harus ikut mengambil bagian guna menangani masalah yang sudah meluas ini.

“Akhirnya kami turun disini, pak Bupati Mimika dan pak Kapolda juga ada disini. Didampingi oleh Kapolda Papua dan Polres yang ada disini, mungkin kita akan duduk untuk bagaimana menyelesaikan masalah di Kwamki Lama, supaya daerah ini harus aman,” terangnya.

Wandik menjelaskan bahwa, apa yang terjadi di Kabupaten Puncak bukan merupakan perang adat, melainkan masyarakat disana menuntut hal yang sama seperti yang dituntut masyarakat Ililae yang menjadi korban pada penyerangan kelompok warga pada Senin lalu yang menewaskan tiga orang.

“Dari mayatnya itu belum dibakar, secara budaya dan adat itukan harus. Kalau seandainya hari ini terjadi dan korbannya mati, tiap tokoh perang atau Waimum harus menerima (bertanggungajawab-red) dan harus dibakar. Tapi karena ada salah satu oknum pihak bawah, dalam arti kelompok Komangal dan Kiwak ini tidak mau menerima. Sehingga hari ini kami dengan pak Kapolda dan Bupati Mimika kami duduk,” jelasnya.

Wandik menambahkan, pada intinya  konflik yang terjadi di Kabupaten Puncak bukan merupakan perang adat seperti yang terjadi di Kwamki Lama, melainkan adanya tuntutan oleh masyarakat agar jenazah tiga korban yang meninggal duni pada penyerangan pada Senin lalu di Iliale untuk segera di bakar secara adat dan dipertanggungajwabkan oleh pihaks yang dimaksud.

“Karena masalahnya mayat masih ada di rumah sakit, sampai hari ini kita belum bakar. Jadi mayatnya inikan penting juga, ini namanya korban jiwa orang. Sehingga kalau masuk didalam adat lagi, itu butuh waktu dan ada butuh berapa proses lagi. Sehingga saya dan pak Bupati kalau bicara pemerintah itu tidak sembarang, separti kalau pak Kapolda bicara A dan kita bakar, tapi ini tidak bisa. Karena ada prosedur mekanisme adat istiadat, sehingga kita harus menghormati dengan cara-cara atau strategi untuk kita masuk mendalami,” terangnya.

Sebelumnya dikabarkan bahwa, telah terjadi sejumlah penyerangan oleh kelompok warga terhadap warga di Kecamatan Beoga, Kabupaten Puncak, Papua. Dimana aksi tersebut menyebabkan warga yang berada di Kacamatan Beoga harus berpindah tempat ke Ilaga yang merupakan ibukota Kabupaten Puncak. Bahkan, sempat terjadi pembakaran rumah akibat belum ada pihak yang mau bertanggungjawab atas jatuhnya korban di wilayah Iliale pada penyerangan Senin kemarin.(Saldi Hermanto)

Related Posts

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel