Peran Fandom K-Pop dalam Aktivisme Sosial dan Politik di Amerika Serikat

Peran Fandom K-Pop dalam Aktivisme Sosial dan Politik di Amerika SerikatWASHINGTON, LELEMUKU.COM - Video musik berjudul “How You Like That” milik girlband Korea Selatan Blackpink memecahkan sejumlah rekor dunia yang dicatat oleh Guinnes World Record ketika dirilis 26 Juni lalu. Dengan 86,3 juta penayangan di YouTube dalam waktu 24 jam setelah rilis, “How You Like That” menjadi video YouTube dengan penayangan terbanyak di hari pertama perilisan. Selain itu, video musik itu juga disaksikan oleh 1,66 juta pasang mata sekaligus saat diluncurkan, tertinggi yang pernah tercatat. Semua capaian itu menunjukkan besarnya kekuatan para penggemar industri musik populer Korea Selatan, alias K-Pop, di dunia maya.

Belakangan, kekuatan itu tidak hanya muncul dalam bentuk dukungan bagi sang idola dan karya mereka, tetapi juga aktivisme di sejumlah isu sosial dan politik.

Ketika gelombang unjuk rasa #BlackLivesMatter pascakematian George Floyd pecah pada akhir Mei lalu di AS, para fans musik K-Pop menunjukkan solidaritas dengan membanjiri tagar #WhiteLivesMatter di Twitter menggunakan video-video rekaman penggemar (fancam) berisi penampilan artis idola mereka. Meski tagar tandingan itu turut menjadi trending topic, pesan-pesan yang mengagungkan supremasi kulit putih dari para pendukung #WhiteLivesMatter yang sesungguhnya justru tertelan oleh masifnya unggahan video-video fancam tersebut.

Pada saat bersamaan, taktik yang sama diklaim menjadi penyebab lumpuhnya aplikasi Departemen Kepolisian Dallas, yang mulanya meminta masyarakat membagikan video aktivitas demonstrasi ilegal melalui aplikasi iWatch Dallas, namun justru dipenuhi oleh video-video fancam para idola K-Pop.

“Ketika udah masuk ke ranah sosial media, fans K-Pop itu udah kayak nggak ada tandingannya deh,” ujar Atmi Ahsani Yusron, penggemar K-Pop asal Jakarta kepada VOA (30/6). Yusron – yang akrab disapa Ron – kala itu turut memantau berita gelombang unjuk rasa menuntut diakhirinya brutalitas polisi terhadap warga Afrika-Amerika di AS. Menurutnya, isu rasialisme itu mendapat simpati dari para penggemar K-Pop di Indonesia.

“Mereka, bahkan untuk yang BLM (Black Lives Matter), sudah mulai bersuara duluan dibandingkan dengan idola mereka,” ungkap pria pemilik kanal podcast ‘Kekoreaan’, yang membahas perkembangan dunia K-Pop dari kaca mata penggemar itu..

Dari berbagai cara untuk menunjukkan solidaritas terhadap gerakan BLM lewat media sosial di Indonesia, salah satunya dilakukan oleh para penggemar musik K-Pop dengan cara kompak tidak men-trending topic-kan tagar terkait K-Pop yang berpotensi menenggelamkan popularitas tagar #BlackLivesMatter. “Misalnya NCT (nama boyband K-Pop, red.), kemarin sempat promo juga di era yang sama dengan BLM, itu banyak banget dari fans K-Pop yang menahan diri mereka untuk nggak buat trending topic supaya si BLM-nya tetap kelihatan di trending topic Twitter,” jelas Ron, “Jadi mereka menunjukkan dukungan dan solidaritas mereka lewat itu.”

Cara lainnya yaitu dengan me-retweet alias mengunggah ulang pernyataan dukungan akun lain terhadap gerakan #BlackLivesMatter di Twitter, seperti yang dilakukan Anindita Nurizky, rekan Ron, sesama penggemar K-Pop. “Karena aku sebenarnya, jujur, nggak begitu paham konteksnya. Daripada aku beropini tapi takutnya salah, karena aku orang Indonesia, nggak tahu juga situasi politik (terkait) Black Lives Matter itu separah apa, jadi aku lebih ke retweet aja,” katanya.

Merambah ke Dunia Politik

Gerakan penggemar K-Pop berlanjut ke ranah politik AS pertengahan Juni lalu. Para fan K-Pop bersama pengguna TikTok dan Twitter diklaim berhasil menyabotase kampanye pilpres Presiden AS Donald Trump di Tulsa, Oklahoma, pada 20 Juni 2020. Caranya, mereka mengajak orang-orang untuk memesan tiket kampanye Trump tanpa kemudian menghadiri acara itu. Meski belum jelas sebesar apa dampak aksi itu terhadap kampanye Presiden Trump, yang pasti acara itu pada akhirnya hanya dihadiri oleh kurang lebih 6.200 orang, melenceng jauh dari angka yang digembar-gemborkan Trump sebelumnya, bahwa tiket kampanyenya sudah dipesan oleh satu juta orang.

“Ada kaget dan nggak kagetnya,” ujar Suray Agung Nugroho, dosen Program Studi Bahasa dan Kebudayaan Korea, Fakultas Ilmu Budaya UGM, melalui sambungan Zoom, menanggapi fenomena tersebut. “Kagetnya, saya melihat, wow, ini kan bukan sesuatu yang mereka lakukan, fandom-fandom ini. Ini kita bicara tentang politik,” ujarnya. “Sebesar-besarnya (gerakan) yang mereka lakukan selama ini adalah kegiatan sosial, charity (amal). Dan itu saya nggak kaget, karena itu memang sudah banyak dilakukan.”

Awal Juni lalu, yang menjadi sorotan adalah penggalangan dana oleh penggemar boyband K-Pop BTS – biasa disebut ARMY – hingga US$1juta dalam kampanye #MatchAMillion, di mana mereka urun dana untuk menyamai jumlah bantuan yang diberikan BTS kepada gerakan #BlackLivesMatter senilai US$1juta.

Nicole Santero, mahasiswi PhD dalam bidang sosiologi dari Universitas Nevada, Las Vegas, yang meneliti tentang struktur organisasi sosial dan budaya Army, memiliki pendapat senada. Menurutnya, aktivitas amal para penggemar K-Pop yang biasanya dikelola oleh komunitas penggemar (fanbase) memang dikenal rapi dan masif sejak sebelum mencuatnya gerakan Black Lives Matter. Akan tetapi, ia sangsi dengan klaim penggemar K-Pop memiliki peran signifikan dalam isu kampanye Trump.

“Menurut saya, itu terlalu dilebih-lebihkan,” ujar Nicole, “Saya tidak akan terkejut kalau memang banyak di antara mereka yang terpikir untuk melakukan (pemesanan palsu tiket kampanye Trump) itu dan memutuskan untuk, ‘Mungkin beberapa dari kita bisa bekerja sama dan melakukan hal ini’. Tapi tidak harus di ranah politik, secara umum saja, karena kalau melihat fandom BTS sendiri misalnya, mereka kerap melakukan aktivitas terorganisasi semacam ini,” jelas Nicole dalam wawancara dengan VOA (1/7).

Ia mencontohkan bagaimana para penggemar BTS menghabiskan waktu berminggu-minggu hingga berbulan-bulan untuk menyusun strategi promosi lagu dan album BTS agar sukses memuncaki tangga lagu dan laku di pasaran. “Mereka akan membuat metrik dan capaian-capaian yang harus dituju sehingga mereka tahu ambang yang harus mereka lampaui saat hari (perilisan album) itu tiba. Jadi, sebesar dan setersebar apapun mereka, pasti sangat terorganisasi dan sangat kolaboratif,” paparnya.

Fenomena sabotase kampanye Trump adalah saat di mana pertama kalinya Nicole melihat campuran isu K-Pop dan politik. Meski pada level individu para penggemar bebas mengekspresikan opini, ia menilai, pada level komunitas, fandom K-Pop akan menggeluti isu politik yang lebih umum dan berdampak, bukan sesuatu yang bersifat partisan. “Saya rasa kita tidak akan melihat mereka memberitahu orang lain, misalnya di AS, ‘Ini sosok yang seharusnya Anda pilih’ atau kampanye lainnya yang serupa, tapi cenderung pesan-pesan yang lebih umum, seperti ‘Datangi TPS dan gunakan hak pilih Anda’,” ujarnya.

Akan tetapi, klaim aktivisme penggemar K-Pop dalam ranah politik AS kadung meluas lewat berbagai pemberitaan media massa di seluruh dunia. Bahkan, Suray melihat media Korea menjadikan fenomena itu sebagai sebuah berita besar. “Mereka mulai memandang, ‘Ternyata, kita bukan (cuma) ‘mengekspor’ K-Popnya. Ini kan secara nggak langsung bukan BTS-nya kan, (tapi) fandomnya, dan efek dari itu ternyata besar. Ini berarti secara nggak langsung Korea ‘memengaruhi’ politik Amerika,” katanya.

Ketika ditanya apakah penggemar K-Pop mungkin hanya kuat dalam aktivisme di dunia maya, Suray menuturkan, “Fandom tadi berhasil menggulingkan kampanye (Trump) sehingga hanya 6.000 orang yang hadir. Itu, saya kira, sudah (menggambarkan) kekuatan massa yang muncul.”

Sementara itu, di tanah air, Suray belum pernah melihat penggemar K-Pop melakukan aktivisme politik serupa. Namun, ia tak menampik bahwa fenomena di AS bisa menginspirasi K-Popers Indonesia, terutama bila ada isu yang mempersatukan. “Bisa jadi ini akan ‘ditiru’, dalam hal positif, oleh para penggemar K-Pop seluruh dunia, ‘Kekuatan kita ternyata bukan hanya sampai sini’. Ini bisa sampai mem-flip sesuatu yang besar di Amerika, Trump lagi,” ungkap Suray.

Di sisi lain, seperti Nicole, Suray tidak khawatir dengan kemungkinan dimanfaatkannya kekuatan fandom K-Pop oleh oknum-oknum tertentu sebagai komoditas politik. “Saya tidak bisa melihat bayangan yang dikahwatirkan, karena mereka akan justru membunuh karakter atau subculture kekuatan yang sudah mereka bangun dari awal,” pungkasnya.

‘K-Pop Supposed to be Entertainment and Fun’


Soliditas penggemar K-Pop, diakui Ron – penggemar musik K-Pop – tak lepas dari peran komunitas penggemar, alias fanbase, yang memiliki akun-akun di media sosial. Para pengelola akun fanbase biasanya akan mengajak para penggemar untuk melakukan gerakan tertentu. “Biasanya kalau fanbase-nya sudah menginisiasi, ‘Guys, kita jangan trending dulu ya’, biasanya sih follower-nya bakal ikut,” tutur Ron.

Meski demikian, menurutnya, sekarang fans K-Pop lebih kritis dalam merespons ajakan-ajakan fanbase, terlebih terkait hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan idola mereka. “Kenapa saya nggak boleh ngedukung idola saya hari ini?’ Terus mereka lihat, ‘Oh, ada ini ternyata’, dan ini lebih penting dibanding kita sekadar merayakan (idola kita). Kadang-kadang, kalau mereka juga merasa hal itu bentrok sama keyakinan mereka, mereka akan tanya,” jelasnya.

Saat disinggung tentang aktivisme politik apa yang mungkin akan dilakoni para K-Poper Indonesia bila menilik aktivisme di AS, Anindita, K-Poper lainnya, mengaku “belum bisa membayangkan”. “Mungkin aja sih terjadi, tapi aku belum tahu dalam kapasitas seperti apa.”

Ia tidak yakin aktivisme dengan bentuk yang sama bisa terjadi di kalangan penggemar K-Pop Indonesia, meski ‘umur’ komunitas K-Pop di Indonesia sudah lebih tua dibandingkan di Amerika. “(Alasannya) bisa jadi isu politik yang berbeda, behaviour (perilaku, red.) fans K-Pop AS sama Indonesia yang juga beda,” katanya.

Setali tiga uang dengan Anindita, ketika ditanya apakah sebagai penggemar K-Pop dirinya terbuka untuk terlibat dalam aktivisme politik di Indonesia, Ron merasa fitrah K-Pop bukanlah sebagai platform berpolitik. Baginya, “K-Pop itu supposed to be entertainment and fun. (seharusnya menjadi sebuah hiburan dan menyenangkan) Kalau masuk ke politik tuh, jadi: ‘nggak, deh’.” (VOA)
Related Posts

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel