Puteri Anetta Komarudin Nilai Kebijakan Fiskal dan Moneter Harus Sinergi Dukung Stabilitas Nilai Tukar
JAKARTA, LELEMUKU.COM – Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) mencatat nilai tukar rupiah (kurs) terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada pada Senin (8/6/2020 ) mengalami penguatan hingga mencapai Rp 13.956 atau berada di bawah Rp 14.000 di masa pandemi Covid-19 ini. Sepanjang pekan ini, pergerakan rupiah terhadap dollar AS masih cenderung fluktuatif dengan posisi terakhir mengalami pelemahan di level Rp 14.257 pada Jumat (12/6/2020).
Anggota Komisi XI DPR RI Puteri Anetta Komarudin menilai pergerakan rupiah tidak terlepas dari sentimen kondisi pasar global dan domestik, sehingga sinergi kebijakan fiskal dan moneter perlu terus dioptimalkan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Ia menjelaskan, dinamika pasar global, seperti kebijakan Bank Sentral Amerika (The Fed) untuk mempertahankan kisaran target suku bunga acuan rendah yang mendekati 0 persen hingga akhir 2021, disertai proyeksi ekonomi AS yang terkontraksi cukup dalam, turut menjadi sentimen terhadap pergerakan rupiah.
“Namun, secara domestik, tingkat inflasi domestik yang rendah dan defisit neraca perdagangan yang terjaga justru menjadi faktor fundamental yang dapat mendorong penguatan rupiah. Perkembangan ini juga ditunjang dengan premi risiko Indonesia yang diukur dengan instrumen Credit Default Swap (CDS) yang mulai menurun setelah sempat melonjak akibat kepanikan pasar keuangan global,” kata Puteri dalam siaran persnya yang diterima Parlementaria, Sabtu (13/6/2020).
Sebagai informasi, Bank Indonesia (BI) memperkirakan tingkat inflasi berada sekitar 1,81 persen (year on year) pada Juni 2020. Sementara, defisit neraca perdagangan masih terjaga sekitar 1,4 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), dan diperkirakan lebih rendah dari 2 persen terhadap PDB sepanjang 2020. Sementara, perbedaan suku bunga untuk SBN tenor 10 tahun berada sekitar 7,06 persen, jauh di atas instrumen sejenis di AS yang bernilai 0,83 persen. Sedangkan premi risiko Indonesia berada di kisaran 126 basis poin (bps), lebih rendah dibandingkan bulan Maret yang menyentuh 245 bps.
Sebelumnya, nilai tukar rupiah sempat terpuruk hingga berada di atas Rp 16.000 per dollar AS pada pertengahan Maret lalu. Eskalasi wabah pandemi Covid-19 memicu kepanikan investor yang mendorong keluarnya portofolio investasi (capital outflows) dalam jumlah yang besar dan memberikan tekanan pada imbal hasil (yields), pasar modal, dan nilai tukar rupiah. Namun, kepercayaan investor terhadap kondisi perekonomian Indonesia saat ini dinilai mulai membaik. BI pun mencatat aliran investasi asing ke dalam Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp 7,1 triliun pada awal bulan ini.
“Pasar mulai merespons positif atas berbagai langkah pemulihan ekonomi di Indonesia yang turut memicu masuknya portofolio investasi ke dalam instrumen SBN. Hal ini kemudian menyebabkan pasokan valuta asing (valas) yang memadai dan menopang peningkatan cadangan devisa. Namun, BI juga harus terus memastikan intervensi moneter tetap dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan pasar agar rupiah tetap stabil,” ujar Wakil Sekretaris Fraksi Partai Golkar ini.
Menutup keterangannya, legislator dapil Jawa Barat VII itu menilai bauran kebijakan fiskal dan moneter untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah perlu dijaga keseimbangannya terhadap upaya pemulihan ekonomi, agar mendorong peningkatan daya saing ekonomi nasional di tengah upaya penanganan pandemi Covid-19.
“Koordinasi dan sinergi antara pemerintah, BI, OJK, dan LPS dalam upaya pemulihan ekonomi dan penguatan nilai tukar rupiah, harus terus terjaga dan dilaksanakan dalam koridor kehati-hatian atau prudent. Agar pelonggaran kebijakan moneter BI berjalan efektif. Selain itu pun harus terus diiringi dengan percepatan stimulus fiskal dan relaksasi kredit bagi sektor riil yang mulai beroperasi seiring dengan momentum pelaksanaan normal baru. Hal tersebut diharapkan dapat menjadi sentimen positif dan menjaga kepercayaan investor,” tutup Ketua Kaukus Pemuda Parlemen Indonesia (KPPI) ini. (PSP)
Anggota Komisi XI DPR RI Puteri Anetta Komarudin menilai pergerakan rupiah tidak terlepas dari sentimen kondisi pasar global dan domestik, sehingga sinergi kebijakan fiskal dan moneter perlu terus dioptimalkan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Ia menjelaskan, dinamika pasar global, seperti kebijakan Bank Sentral Amerika (The Fed) untuk mempertahankan kisaran target suku bunga acuan rendah yang mendekati 0 persen hingga akhir 2021, disertai proyeksi ekonomi AS yang terkontraksi cukup dalam, turut menjadi sentimen terhadap pergerakan rupiah.
“Namun, secara domestik, tingkat inflasi domestik yang rendah dan defisit neraca perdagangan yang terjaga justru menjadi faktor fundamental yang dapat mendorong penguatan rupiah. Perkembangan ini juga ditunjang dengan premi risiko Indonesia yang diukur dengan instrumen Credit Default Swap (CDS) yang mulai menurun setelah sempat melonjak akibat kepanikan pasar keuangan global,” kata Puteri dalam siaran persnya yang diterima Parlementaria, Sabtu (13/6/2020).
Sebagai informasi, Bank Indonesia (BI) memperkirakan tingkat inflasi berada sekitar 1,81 persen (year on year) pada Juni 2020. Sementara, defisit neraca perdagangan masih terjaga sekitar 1,4 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), dan diperkirakan lebih rendah dari 2 persen terhadap PDB sepanjang 2020. Sementara, perbedaan suku bunga untuk SBN tenor 10 tahun berada sekitar 7,06 persen, jauh di atas instrumen sejenis di AS yang bernilai 0,83 persen. Sedangkan premi risiko Indonesia berada di kisaran 126 basis poin (bps), lebih rendah dibandingkan bulan Maret yang menyentuh 245 bps.
Sebelumnya, nilai tukar rupiah sempat terpuruk hingga berada di atas Rp 16.000 per dollar AS pada pertengahan Maret lalu. Eskalasi wabah pandemi Covid-19 memicu kepanikan investor yang mendorong keluarnya portofolio investasi (capital outflows) dalam jumlah yang besar dan memberikan tekanan pada imbal hasil (yields), pasar modal, dan nilai tukar rupiah. Namun, kepercayaan investor terhadap kondisi perekonomian Indonesia saat ini dinilai mulai membaik. BI pun mencatat aliran investasi asing ke dalam Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp 7,1 triliun pada awal bulan ini.
“Pasar mulai merespons positif atas berbagai langkah pemulihan ekonomi di Indonesia yang turut memicu masuknya portofolio investasi ke dalam instrumen SBN. Hal ini kemudian menyebabkan pasokan valuta asing (valas) yang memadai dan menopang peningkatan cadangan devisa. Namun, BI juga harus terus memastikan intervensi moneter tetap dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan pasar agar rupiah tetap stabil,” ujar Wakil Sekretaris Fraksi Partai Golkar ini.
Menutup keterangannya, legislator dapil Jawa Barat VII itu menilai bauran kebijakan fiskal dan moneter untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah perlu dijaga keseimbangannya terhadap upaya pemulihan ekonomi, agar mendorong peningkatan daya saing ekonomi nasional di tengah upaya penanganan pandemi Covid-19.
“Koordinasi dan sinergi antara pemerintah, BI, OJK, dan LPS dalam upaya pemulihan ekonomi dan penguatan nilai tukar rupiah, harus terus terjaga dan dilaksanakan dalam koridor kehati-hatian atau prudent. Agar pelonggaran kebijakan moneter BI berjalan efektif. Selain itu pun harus terus diiringi dengan percepatan stimulus fiskal dan relaksasi kredit bagi sektor riil yang mulai beroperasi seiring dengan momentum pelaksanaan normal baru. Hal tersebut diharapkan dapat menjadi sentimen positif dan menjaga kepercayaan investor,” tutup Ketua Kaukus Pemuda Parlemen Indonesia (KPPI) ini. (PSP)
0 Response to "Puteri Anetta Komarudin Nilai Kebijakan Fiskal dan Moneter Harus Sinergi Dukung Stabilitas Nilai Tukar"
Post a Comment