Pemerintah Pusat Awasi Pengelolaan Dana Otsus
SAPA (JAKARTA) - Menko Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan saat ini pemerintah mengawasi pengelolaan dana otonomi khusus (Otsus) di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, untuk menangani ketertinggalan pendidikan di kedua provinsi tersebut.
"Papua tidak kurang uang, tetapi (selama ini) pemerintah tidak pernah mengontrol penggunaan uang di sana. Sekarang terserah mereka (pemda) uang itu mau digunakan untuk apa. Yang penting kami dampingi. Kami biarkan pemda mengelola tetapi kami awasi" ujar Luhut dalam siaran persnya yang diterima Antara di Jakarta, Senin.
Menurut dia, alokasi dana pendidikan yang tidak sampai satu persen dari keseluruhan APBD 2015 Provinsi Papua, merupakan kelalaian pemerintah.
"Itu salah pemerintah juga. Sebenarnya dana Otsus tidak boleh dicampur dengan APBD, tetapi harus dipisahkan dan disalurkan langsung ke kabupaten-kabupaten," tuturnya.
Anies kritisi Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan mengkritisi kecilnya dana yang dialokasikan untuk pendidikan sebesar Rp100 miliar dari total APBD 2015 Provinsi Papua Rp11,94 triliun.
Kecilnya alokasi dana pendidikan yang terangkum dalam data Neraca Pendidikan Daerah Provinsi Papua yang disusun Kemendikbud, merupakan salah satu dari tiga kendala percepatan pendidikan di Papua, selain akses dan mutu.
Dengan anggaran tersebut, Papua menempati posisi terakhir sebagai provinsi di Indonesia dengan prosentase alokasi APBD terendah untuk pendidikan yakni 0,84 persen, di mana setiap siswa hanya mendapat Rp165 ribu per tahun.
Kondisi ini menjadi penyebab buruknya fasilitas pendidikan di Papua, di mana dari 3.157 satuan pendidikan dasar hingga menengah, tercatat 7.628 ruang kelas SD rusak dan 2.388 lainnya tidak bisa dipakai. Demikian pula 2.246 ruang kelas SMP rusak dan 383 lainnya tidak bisa dipakai.
"Rapor merah" kondisi pendidikan di Papua juga bertambah dengan rendahnya angka partisipasi siswa pada 2015, di mana dari 399.437 siswa SD, 43,3 persen tidak hadir; dari 116.034 siswa SMP, 58,7 persen tidak hadir; dari 91.546 siswa SMA/SMK, 64,4 persen tidak hadir.
Bahkan, angka buta huruf (tunaaksara) di Papua menempati peringkat tertinggi di antara 34 provinsi di Tanah Air yakni 28,61 persen, sangat jauh di atas angka nasional sebesar 3,7 persen.
"Kita melihat ini adalah 'rapor merah', dan akan menjadi langkah awal untuk perbaikan pendidikan di Papua," ucap Anies, menegaskan.
Dengan menunjukkan data neraca pendidikan tersebut, ia berharap Pemprov Papua dapat bertanggung jawab karena sejak otonomi daerah pada 2001, pendidikan termasuk fasilitas sekolah dan guru, bukan merupakan aset Kemendikbud.
"Dengan melaporkan data ini, sekarang bupati dan wali kota jadi mendapat tekanan (untuk memperbaiki pendidikan). Jadi kalau ada sekolah rusak itu (tanggung jawab) pemda karena aset daerah," ujar Anies. (ant)
"Papua tidak kurang uang, tetapi (selama ini) pemerintah tidak pernah mengontrol penggunaan uang di sana. Sekarang terserah mereka (pemda) uang itu mau digunakan untuk apa. Yang penting kami dampingi. Kami biarkan pemda mengelola tetapi kami awasi" ujar Luhut dalam siaran persnya yang diterima Antara di Jakarta, Senin.
Menurut dia, alokasi dana pendidikan yang tidak sampai satu persen dari keseluruhan APBD 2015 Provinsi Papua, merupakan kelalaian pemerintah.
"Itu salah pemerintah juga. Sebenarnya dana Otsus tidak boleh dicampur dengan APBD, tetapi harus dipisahkan dan disalurkan langsung ke kabupaten-kabupaten," tuturnya.
Anies kritisi Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan mengkritisi kecilnya dana yang dialokasikan untuk pendidikan sebesar Rp100 miliar dari total APBD 2015 Provinsi Papua Rp11,94 triliun.
Kecilnya alokasi dana pendidikan yang terangkum dalam data Neraca Pendidikan Daerah Provinsi Papua yang disusun Kemendikbud, merupakan salah satu dari tiga kendala percepatan pendidikan di Papua, selain akses dan mutu.
Dengan anggaran tersebut, Papua menempati posisi terakhir sebagai provinsi di Indonesia dengan prosentase alokasi APBD terendah untuk pendidikan yakni 0,84 persen, di mana setiap siswa hanya mendapat Rp165 ribu per tahun.
Kondisi ini menjadi penyebab buruknya fasilitas pendidikan di Papua, di mana dari 3.157 satuan pendidikan dasar hingga menengah, tercatat 7.628 ruang kelas SD rusak dan 2.388 lainnya tidak bisa dipakai. Demikian pula 2.246 ruang kelas SMP rusak dan 383 lainnya tidak bisa dipakai.
"Rapor merah" kondisi pendidikan di Papua juga bertambah dengan rendahnya angka partisipasi siswa pada 2015, di mana dari 399.437 siswa SD, 43,3 persen tidak hadir; dari 116.034 siswa SMP, 58,7 persen tidak hadir; dari 91.546 siswa SMA/SMK, 64,4 persen tidak hadir.
Bahkan, angka buta huruf (tunaaksara) di Papua menempati peringkat tertinggi di antara 34 provinsi di Tanah Air yakni 28,61 persen, sangat jauh di atas angka nasional sebesar 3,7 persen.
"Kita melihat ini adalah 'rapor merah', dan akan menjadi langkah awal untuk perbaikan pendidikan di Papua," ucap Anies, menegaskan.
Dengan menunjukkan data neraca pendidikan tersebut, ia berharap Pemprov Papua dapat bertanggung jawab karena sejak otonomi daerah pada 2001, pendidikan termasuk fasilitas sekolah dan guru, bukan merupakan aset Kemendikbud.
"Dengan melaporkan data ini, sekarang bupati dan wali kota jadi mendapat tekanan (untuk memperbaiki pendidikan). Jadi kalau ada sekolah rusak itu (tanggung jawab) pemda karena aset daerah," ujar Anies. (ant)
0 Response to "Pemerintah Pusat Awasi Pengelolaan Dana Otsus"
Post a Comment